“Diglosia”
PENDAHULUAN
Bahasa
adalah sebuah system , artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang
berpola secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah ,
bahwa bahasa itu adalah system lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Dengan sistematis maksudnya ,
bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak
atau sembarangan.
Sistem
bahasa yang digunakan berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Setiap lambang
bahasa menggunakan lambang bahasa ya ng berbunyi [kuda], melambangkan konsep
atau makna.Dalam bahasa Indonesia satuan bunyi [air], [kuda], dan [meja] adalah
lambang ujaran karena memiliki makana , tetapi bunyi- bunyi [rai], [akud],
[ajem] bukanlah lambang ujaran karena tidak memiliki makna. Lambang bahasa itu
bersifat arbitrer , artinya hubungan antara lambang dengan yang
dilambangkannya, tidak bersifat wajib , bisa berubah , dan tidak dapat
dijelaskan mengapa lambang itu mengonsepi makna tertentu.
Bagi
sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat yang berfungsi untuk
menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit , sebab seperti dikemukakan
Fishman bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what
language to whom, when and to what end.
Sosiolinguistik
merupakan cabang linguistik yang secara etimologi kata tersebut berasal dari
bahasa Inggris, yaitu terdiri atas kata “socio” dan “linguistics”. Linguistik
yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur
bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu
termasuk hakikat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur sosio adalah seakar
dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat,
dan fungsi kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan
dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Dalam
sosiolinguistik terdapat diglosia yang merupakan salah satu subtopik yang akan
dijelaskan dalam topik ini. Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie,
yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu
menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang
swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu
symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan
oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian
Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah
artikelnya yang berjudul “diglosia”.
MASALAH
Dalam
diglosia terdapat beberapa masalah yang muncul yang dapat dilhat dari segi
fungsi, prestise, standardisasi, dan dari segi lainnya. Pemerolehan ragam T
hanya diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam
R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman – teman. Oleh karena itu
mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal
ragam T.
Dilihat
dari segi fungsi terdapat masalah yaitu adanya dua variasi bahasa yang
digunakan oleh masyarakat diglosis. Variasi pertama disebut dialek tinggi
(disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah
(disingkat dialek R atau ragam R ). Dari segi prestise dialek R dianggap inferior
bahkan ada yang menolaknya dibandingkan dengan dialek T yang lebih terpandang
dan bergengsi. Dan dilihat dari segi standardisasi.Ragam T dipandang sebagai
ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan
terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal dan Ragam R tidak dipeduli
dan diperhatikan. Dan juga timbul persoaolan dimana ragam mana yang dipilih
menjadi bahasa nasional, apakah ragam T atau ragam R.
TEORI
Pada
ragam bahasa diglosia terdapat berbagai macam permasalahan yang muncul, dimana
pemilihan ragaam bahasa nasional mana yang akan digunakan, menurut ferguson
para pendukung ragam T dan R tentu memunyai argumentasi untuk menentukan ragam
mana yang cocok menjadi bahasa nasional. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama,
ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai di dalam
masyarakat dan kedua ragam T yang akan menjadi bahasa nasional apabila, ragam T
itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyrakat dan apabila masyarakat
diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
Saya berpendapat bahwa teori yang digunakan oleh Ferguson
tepat karena masyarakat lebih mudah menggunakan ragam R disbanding dengan ragam
T, ragam R sangat mudah dipahami dan
mudah diperoleh dibanding ragam T, masyarakat yang tidak terbiasa dengan
suasana formal lebih cenderung menggunakan ragam R. disisi lain ragam R itu itu
tidak memunyai kaidah – kaidah tata bahasa tetapi masyarakat dengan mudah
menggunakannya.
Pertanyaan
1. Apa
yang dimaksud dengan diglosia ?
·
Diglosia adalah suatu situasin
kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek – dialek
utama ( lebih tepat : ragam – ragam utama ) dari satu bahasa, terdapat juga
sebuah ragam lain.
2. Jelaskan
makna dari distribusi fungsional pada dialek T dan R !
·
Distribusi fungsional dialek T dan
dialek R memunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai
untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bias digunakan.
3. Mengapa
dialek T lebih terpandang disbanding dialek R ?
·
Karena masyarakat penuturnya lebih
memandang dialek T lebih bergengsi dan merupakan bahasa yang logis
4. Sebutkan
hal – hal yang dapat melunturkan tekanan – tekanan masyarakat diglosisi !
·
Meningkatnya kemampuan keakasaraan dan
meluasnya komunikasi verbal pada satu Negara.
·
Meningkatnya penggunaan bahasa tulis
·
Perkembangan nasionalisme dengan
keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambing kenasionalan suatu
bangsa.
5. Jelaskan
keunggulan dialek R disbanding dialek T !
·
Keunggulan dialek R terdapat pada banyak
masyrakat penutur yang sangat mudah menggunakannya dan untuk memperolehnya
masyarakat diperlu memasuku dunia pedidikan formal, dan dialek R tidak memunyai
kaidah tata bahasa sehingga masyarakat lebih lancer menggunakannya.
SIMPULAN
Di dalam masyarakat penutur diglosis
terdapat berbagai macam masalah yan timbul dan membuat masyrakat tersebut
mendapat tekanan – tekanan dalam memilih ragam bahasa yang cocok untuk
digunakan dalam ragam bahasa nasional.
Dalam hal tersebut masing – masing dialek memilki
pendapat masing – masing untuk menentuka ragam bahasa yang cocok, disisi lain
masyrakat tidak perlu merasa dalam tekanan terus menerus, karena dengan
meningkatkan pengetahuan dalam kaidah tata bahasa kita dapat menempatkan dimana
kita harus menggunakan dialek T dan dialek R.
Daftar Pustaka
Chaer,
Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta : RINEKA CIPTA.